Rabu, 02 Maret 2011

Berwudhulah, Maka Batu Menjadi Emas!

Kunci yang menentukan nilai aktivitas kita bernilai batu atau emas adalah wudhu!

“Tidak seorang muslim pun yang tidur malam dalam keadaan suci (berwudhu), kemudian ia terbangun pada malam hari dan minta kepada Allah kebaikan dalam urusan dunia dan akhirat, melainkan Allah akan mengabulkan permintannya itu.” (HR Abu Daud, Nasai, Ibnu Majjah).

Ternyata tidur dalam keadaan suci dapat membawa hikmah luar biasa...
Nah, kita mau tidur batu atau tidur emas?

Demikian pula seseorang yang berjalan menuju masjid (dalam keadaan wudhu), maka Allah akan memberikan ampunan dan kenaikan derajat untuk setiap langkahnya:

“Barangsiapa berwudhu dari rumahnya, lalu berangkat menuju masjid menegakkan shalat fardhu, maka setiap langkah kanan kirinya untuk melepas dosanya dan mengangkat derajatnya.” (HR Muslim)

Sebaliknya, jika langkah kita ke masjid belum dalam keadaan suci (wudhu), maka langkahnya tidak memberi fadilah untuk menghapus dosa dan kenaikan derajat.

Nah, kita mau langkah batu atau langkah emas?

Juga untuk aktivitas-aktivitas lainnya seperti membaca Quran, menuntut ilmu, bekerja, berhubungan suami istri dll semuanya akan jauh lebih bernilai jika dilakukan dalam keadaan suci (berwudhu). Karena itu, jadikanlah setiap aktivitas kita bernilai emas... jaga wudhu selalu.

Hikmah menuntut ilmu agama

Beberapa hikmah menuntut ilmu (agama) lainnya adalah:

1. Berada di jalan Allah
“Barang siapa yang keluar rumah untuk menuntut ilmu, berarti dia berada di jalan Allah hingga pulang” (HR Turmudzi)

2. Mendapatkan pahala yang mengalir terus menerus
“Jika anak adam meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecualai 3 hal, yaitu shadaqoh jariyah, ilmu yang bermanfaat, anak shaleh yang selalu mendoakan orang tuanya.”(HR Muslim)

3. Agar tidak terlaknat
“Dunia dan seisinya terlaknat, kecuali yang memanfaatkannya demi kepentingan dzikrullah dan yang serupa dengan itu, para ulama dan orang-orang yang menuntut ilmu” (HR Turmudzi)

4. Ditinggikan derajatnya
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat”.

5. Dimudahkan jalan menuju surga
“Barang siapa menempuh jalan untuk menentut ilmu agama, pasti Allah membuat mudah baginya jalan menuju surga” (HR Muslim)

Karena itu, dengan menuntut ilmu semoga kita menjadi orang baik, tetap berada di jalan Allah, memiliki pahala yang terus mengalir meskipun sepeninggal kita, tidak terlaknat, ditinggikan derajatnya dan dimudahkan Allah menuju surga. Amin

Petuah Ulama, Pentingnya Menjaga Waktu

Inilah nasehat berharga dari para ulama kita. Sungguh di zaman ini, kita akan melihat banyak orang yang menyia-nyiakan waktu dan umurnya dengan sia-sia. Kebanyakan kita saat ini hanya mengisi waktu dengan maksiat, lalai dari ketaatan dan ibadah, dan gemar melakukan hal yang sia-sia yang membuat lalai dari mengingat Allah. Padahal kehidupan di dunia ini adalah kehidupan yang sangat singkat, tetapi kebanyakan kita lalai memanfaatkan waktu yang telah Allah berikan. Pada tulisan kali ini, kami akan menyajikan perkataan-perkataan ulama terdahulu mengenai pentingnya menjaga waktu. Semoga dengan merenungkan nasehat para ulama berikut, kita dapat menjadi lebih baik dan tidak menjadi orang yang menyia-nyiakan waktu.
Ketahuilah bahwa Engkau Seperti Hari-harimu
Hasan Al Bashri mengatakan,
ابن آدم إنما أنت أيام كلما ذهب يوم ذهب بعضك
Wahai manusia, sesungguhnya kalian hanyalah kumpulan hari. Tatkala satu hari itu hilang, maka akan hilang pula sebagian dirimu.”[1]

Waktu Pasti akan Berlalu, Beramallah
Ja’far bin Sulaiman berkata bahwa dia mendengar Robi’ah menasehati Sufyan Ats Tsauri,
إنما أنت أيام معدودة، فإذا ذهب يوم ذهب بعضك، ويوشك إذا ذهب البعض أن يذهب الكل وأنت تعلم، فاعمل.
Sesungguhnya engkau adalah kumpulan hari. Jika satu hari berlalu, maka sebagian dirimu juga akan hilang. Bahkan hampir-hampir sebagian harimu berlalu, lalu hilanglah seluruh dirimu (baca: mati) sedangkan engkau mengetahuinya. Oleh karena itu, beramallah.”[2]

Waktu Bagaikan Pedang
Imam Asy Syafi’i rahimahullah pernah mengatakan,
صحبت الصوفية فلم أستفد منهم سوى حرفين أحدهما قولهم الوقت سيف فإن لم تقطعه قطعك
“Aku pernah bersama dengan orang-orang sufi. Aku tidaklah mendapatkan pelajaran darinya selain dua hal. Pertama, dia mengatakan bahwa waktu bagaikan pedang. Jika kamu tidak memotongnya (memanfaatkannya), maka dia akan memotongmu.”

Jika Tidak Tersibukkan dengan Kebaikan, Pasti akan Terjatuh pada Perkara yang Sia-sia
Lanjutan dari perkataan Imam Asy Syafi’i di atas, “Kemudian orang sufi tersebut menyebutkan perkataan lain:
ونفسك إن أشغلتها بالحق وإلا اشتغلتك بالباطل
Jika dirimu tidak tersibukkan dengan hal-hal yang baik (haq), pasti akan tersibukkan dengan hal-hal yang sia-sia (batil).”[3]

Waktu Berlalu Begitu Cepatnya
Ibnul Qoyyim rahimahullah mengatakan, “Waktu manusia adalah umurnya yang sebenarnya. Waktu tersebut adalah waktu yang dimanfaatkan untuk mendapatkan kehidupan yang abadi, penuh kenikmatan dan terbebas dari kesempitan dan adzab yang pedih. Ketahuilah bahwa berlalunya waktu lebih cepat dari berjalannya awan (mendung).
Barangsiapa yang waktunya hanya untuk ketaatan dan beribadah pada Allah, maka itulah waktu dan umurnya yang sebenarnya. Selain itu tidak dinilai sebagai kehidupannya, namun hanya teranggap seperti kehidupan binatang ternak.”

Kematian Lebih Layak Bagi Orang yang Menyia-nyiakan Waktu
Lalu Ibnul Qoyyim mengatakan perkataan selanjutnya yang sangat menyentuh qolbu, “Jika waktu hanya dihabiskan untuk hal-hal yang membuat lalai, untuk sekedar menghamburkan syahwat (hawa nafsu), berangan-angan yang batil, hanya dihabiskan dengan banyak tidur dan digunakan dalam kebatilan (baca: kesia-siaan), maka sungguh kematian lebih layak bagi dirinya.”[4]

Janganlah Sia-siakan Waktumu Selain untuk Mengingat Allah
Dari Abdullah bin Abdil Malik, beliau berkata, “Kami suatu saat berjalan bersama ayah kami di atas tandunya. Lalu dia berkata pada kami, ‘Bertasbihlah sampai di pohon itu.’ Lalu kami pun bertasbih sampai di pohon yang dia tunjuk. Kemudian nampak lagi pohon lain, lalu dia berkata pada kami, ‘Bertakbirlah sampai di pohon itu.’ Lalu kami pun bertakbir. Inilah yang biasa diajarkan oleh ayah kami.”[5]
Ya Allah, mudahkanlah kami selaku hamba-Mu untuk memanfaatkan waktu ini dalam ketaatan dan dijauhkan dari kelalaian. Amin Yaa Mujibas Saailin.
Semoga apa yang kami sajikan ini bermanfaat bagi hati yang ingin terus disirami.

Diselesaikan di Pangukan, Sleman, 6 Muharram 1430 H (di pagi hari yang penuh berkah)
***
Al Faqir Ilallah: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel http://rumaysho.com

Minggu, 13 Februari 2011

Ketika Salman al-Farisi Melamar Wanita Anshar

Ketika Salman al-Farisi Melamar Wanita Anshar

Salman Al Farisi memang sudah waktunya menikah. Seorang wanita Anshar yang dikenalnya sebagai wanita mukminah lagi shalihah juga telah mengambil tempat di hatinya. Tentu saja bukan sebagai kekasih. Tetapi sebagai sebuah pilihan dan pilahan yang dirasa tepat. Pilihan menurut akal sehat. Dan pilahan menurut perasaan yang halus, juga ruh yang suci.

Tapi bagaimanapun, ia merasa asing di sini. Madinah bukanlah tempat kelahirannya. Madinah bukanlah tempatnya tumbuh dewasa. Madinah memiliki adat, rasa bahasa, dan rupa-rupa yang belum begitu dikenalnya. Ia berfikir, melamar seorang gadis pribumi tentu menjadi sebuah urusan yang pelik bagi seorang pendatang. Harus ada seorang yang akrab dengan tradisi Madinah berbicara untuknya dalam khithbah. Maka disampaikannyalah gelegak hati itu kepada shahabat Anshar yang dipersaudarakan dengannya, Abu Darda’.

”Subhanallaah.. wal hamdulillaah..”, girang Abu Darda’ mendengarnya. Mereka tersenyum bahagia dan berpelukan. Maka setelah persiapan dirasa cukup, beriringanlah kedua shahabat itu menuju sebuah rumah di penjuru tengah kota Madinah. Rumah dari seorang wanita yang shalihah lagi bertaqwa.

”Saya adalah Abu Darda’, dan ini adalah saudara saya Salman seorang Persia. Allah telah memuliakannya dengan Islam dan dia juga telah memuliakan Islam dengan amal dan jihadnya. Dia memiliki kedudukan yang utama di sisi Rasulullah Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam, sampai-sampai beliau menyebutnya sebagai ahli bait-nya. Saya datang untuk mewakili saudara saya ini melamar putri Anda untuk dipersuntingnya.”, fasih Abud Darda’ bicara dalam logat Bani Najjar yang paling murni.

”Adalah kehormatan bagi kami”, ucap tuan rumah, ”Menerima Anda berdua, shahabat Rasulullah yang mulia. Dan adalah kehormatan bagi keluarga ini bermenantukan seorang shahabat Rasulullah yang utama. Akan tetapi hak jawab ini sepenuhnya saya serahkan pada puteri kami.” Tuan rumah memberi isyarat ke arah hijab yang di belakangnya sang puteri menanti dengan segala debar hati.

”Maafkan kami atas keterusterangan ini”, kata suara lembut itu. Ternyata sang ibu yang bicara mewakili puterinya. ”Tetapi karena Anda berdua yang datang, maka dengan mengharap ridha Allah saya menjawab bahwa puteri kami menolak pinangan Salman. Namun jika Abu Darda’ kemudian juga memiliki urusan yang sama, maka puteri kami telah menyiapkan jawaban mengiyakan.”

Jelas sudah. Keterusterangan yang mengejutkan, ironis, sekaligus indah. Sang puteri lebih tertarik kepada pengantar daripada pelamarnya! Itu mengejutkan dan ironis. Tapi saya juga mengatakan indah karena satu alasan; reaksi Salman. Bayangkan sebuah perasaan, di mana cinta dan persaudaraan bergejolak berebut tempat dalam hati. Bayangkan sebentuk malu yang membuncah dan bertemu dengan gelombang kesadaran; bahwa dia memang belum punya hak apapun atas orang yang dicintainya. Mari kita dengar ia bicara.

Allahu Akbar!”, seru Salman, ”Semua mahar dan nafkah yang kupersiapkan ini akan aku serahkan pada Abu Darda’, dan aku akan menjadi saksi pernikahan kalian!”

Cinta tak harus memiliki. Dan sejatinya kita memang tak pernah memiliki apapun dalam kehidupan ini. Salman mengajarkan kita untuk meraih kesadaran tinggi itu di tengah perasaan yang berkecamuk rumit; malu, kecewa, sedih, merasa salah memilih pengantar –untuk tidak mengatakan ’merasa dikhianati’-, merasa berada di tempat yang keliru, di negeri yang salah, dan seterusnya. Ini tak mudah. Dan kita yang sering merasa memiliki orang yang kita cintai, mari belajar pada Salman. Tentang sebuah kesadaran yang kadang harus kita munculkan dalam situasi yang tak mudah.

Sergapan rasa memiliki terkadang sangat memabukkan.. Rasa memiliki seringkali membawa kelalaian. Kata orang Jawa, ”Milik nggendhong lali”. Maka menjadi seorang manusia yang hakikatnya hamba adalah belajar untuk menikmati sesuatu yang bukan milik kita, sekaligus mempertahankan kesadaran bahwa kita hanya dipinjami. Inilah sulitnya. Tak seperti seorang tukang parkir yang hanya dititipi, kita diberi bekal oleh Allah untuk mengayakan nilai guna karuniaNya. Maka rasa memiliki kadang menjadi sulit ditepis.

Minggu, 02 Januari 2011

Build The Momentum

Build The Momentum


Bismillahirrahmanirrahim.. Alhamdulillah, segala puji hanya kepada Allah Swt. Atas karunia dan limpahan nikmat iman, islam, dan sehat wala'fiat. Termasuk juga didalamnya nikmat panjang umur, hingga masih diberikan kesempatan menapaki hidup yang baru di tahun 2011 ini. Shalawat dan salam kepada Rasulullah, Muhammad Saw. Juga kepada keluarga dan para pengikutnya hingga akhir zaman.

Di tahun yang baru ini, insya Allah seharusnya menjadikan kita sebagai pribadi yang lebih baik lagi, agar kita termasuk kepada golongan orang-orang yang beruntung. Bertepatan dengan momentum tahun baru ini pula, saatnya memulai lembaran baru dalam dunia online/blog ini. Selalu dalam setiap tindakan, yang terpenting apakah menjadi manfaat bagi orang lain. Sedikit banyak, blog ini berusaha menyisipkan butir-butir manfaat dan kebaikan yang insya Allah didapat oleh pembacanya.

Tanpa panjang lebar, semoga tulisan yang ada disini bisa bermanfaat, dan berlanjut dengan hikmah harian yang bisa dinikmati. Semua harapan kebaikan dan kesuksesan mudah-mudahan bisa kita capai di tahun ini. Amin.

Senin, 16 November 2009

Success and Happiness

Beberapa bulan terakhir ini, kehidupan refleksi di dalam hati saya sedikit banyak dipenuhi dengan keingintahuan tentang makna sukses dan kebahagiaan. Konsep ini sebenarnya saya dapatkan dari mas Arvan Pradiansyah, yang pertama kali saya dengar acaranya di Smart FM. Terinspirasi oleh pemikiran beliau, saya pun membeli bukunya yang berjudul The Seven Laws of Happiness. Buku yang luar biasa bagi saya. Seolah memberi pencerahan baru dibidang psikologis,merasuk kedalam diri untuk menyadari makna dari setiap situasi hidup, tantangan, dan masalah sehari-hari. Buku yang sangat membantu buat saya dan setiap orang yang ingin mencari teori "kebahagiaan".

Sedikit banyak di entry selanjutnya akan saya share "influence" dari buku tersebut terhadap kehidupan saya. Banyak hal ternyata yang bisa diambil pelajaran, dan lebih banyak lagi hal yang kita belum tau bagaimana mengatasinya. Jadi, sebagai awalan, ada sebuah kutipan dari Dale Carnegie yang tertulis juga di buku tersebut yang cukup menginspirasi saya;
"Success is getting what you want, Happiness is wanting what you get."

Selasa, 01 September 2009

Window or Mirror?

Seringkali dalam kehidupan ini ketika kita menghadapi sebuah persoalan dan permasalahan, kita menunjuk orang lain sebagai penyebab masalah. Kita menunjuk bahwa merekalah yang bersalah dan menjadi penyebab dalam permasalahan yang kita hadapi, dan karena itulah mereka yang harus berubah..

Analogi ini sebenaranya sama dengan ketika kita sedang melihat keluar jendela, kita melihat orang lain disana, dan merekalah subjek yang harus melakukan perubahan yang kita inginkan. Namun sebenarnya, akan lebih baik jika kita menggunakan mirror/cermin, sebagai alat bantu kita. Liat lah ke dalam dirimu sendiri. dan kenalinah dirimu, pikirkan tentang apa saja kesalahan dan kekurangan yang kita lakukan. Hal ini lebih baik daripada menunjuk orang lain sebagai penyebabnya.

Secara sederhana , saya ingin mengajak anda dengan analogi ini, menggunakan sebagai cara yang terbaik, langkah pertama dalam mengatur perspektif kita terhadap suatu masalah.

Seringkali saya melihat kepada faktor orang lain. Tentu saja ini akan membuat saya merasa tertekan ketika saya tidak bisa mengubahnya. Namun dengan melihat kedalam diri saya, perubahan itu lebih mudah didapat, karena sayalah yang bisa merubahnya.